"Kalau selama ini, kewajiban pembayaran pajak galian C bisa kami hitung dari estimasi pemakaian material proyek pemerintah. Ada juga penekanan terhadap proyek yang menggunakan material dari galian C, syarat pencairan harus lunas pajak galian C. Tapi untuk proyek Pemprov dan Satker pusat, bukti lunas pajak belum jadi syarat pencairan. Ini juga jadi kendala sebenarnya," papar Deftri.
BACA JUGA:Ingat, Pengesahan APBDes 2024 Jangan Seperti Tahun Sebelumnya
"Sekarang juga sudah mulai perusahaan swasta yang secara sukarela melaporkan estimasi penggunaan material dari galian C pada proyek mereka. Kalau tidak salah bukti lunas pajak MBLB jadi sayat pencairan. Ini sangat membantu. Di luar itu, tentu kita berharap kejujuran pengusaha quari itu sendiri," imbuhnya.
Deftri berharap, pemerintah desa bisa ambil peran aktif untuk mendongkrak realisasi pajak galian C ini. Sebab, dari total pajak yang diterima Pemkab, ada jatah dana bagi hasil (DBH) sebesar 30 persen untuk desa.
"Contohnya begini, desa A ada satu quari yang membayar pajak, katakanlah Rp 100 juta dalam satu tahun. Dari pajak itu, DBH untuk desa Rp 30 juta," terang Kabid P1.
BACA JUGA:Kadis Kominfo Mukomuko Berikan Materi Bijak Menggunakan Medsos di Rawa Mulya
Lebih lanjut dia menjelaskan, besaran pajak yang wajib dibayar oleh pelaku usaha galian C ditentukan dari penjualan material kepada siapa saja. Baik untuk keperluan proyek pemerintah, perusahaan swasta, maupun kebutuhan perorangan.
Kalau pihak pemerintah desa bisa membantu mengawasi dan mendata material yang dijual oleh galian C, maka potensi GBH untuk desa akan semakin besar.
"Intinya, Pemkab butuh data pembanding berapa sebenarnya material yang terjual dari setiap quari. Kalau ada data itu, kita bisa menekankan ke usaha galian C kalau pajak yang mereka harus bayar, sekian. Tinggal total jumlah kubikasi material terjual kali Rp 4.000 per kubik," bebernya.
BACA JUGA:Kotoran Ternak Berserakan di Komplek Pemkab Mukomuko