Selain tepung beras, terigu, gula jawa, gula pasir, air, dan garam, pembuatan adrem juga memanfaatkan parutan kelapa yang dicampurkan ke dalam adonan lalu digoreng dengan minyak panas.
Tunggu adonan mengapung ke permukaan kemudian ditekan dengan sudip, selanjutnya dibalik, dan dijepit menggunakan tiga batang sumpit.
"Adrem adalah sejenis kue cucur, namun dengan bentuk yang khas, yang dicari banyak orang." Rasa sebenarnya mirip dengan kue cucur, hanya saja bentuknya yang khas membuat banyak orang tertarik. “Seseorang yang mencarinya itu karena keunikan bentuknya,” ujar Dewi.
Bersama enam pegawai yang juga merupakan penduduk desa, Dewi mulai memproduksi adrem setiap hari dari pukul 07.00 hingga 16.00 WIB.
Adrem bisa bertahan selama satu minggu dalam kemasan mika yang ditinggalkan di luar ruangan. Jika ingin dinikmati dalam keadaan panas, makanan tradisional tersebut dapat dikukus.
"Untuk produksi pada hari biasa, sekitar 20-30 kilogram." Apabila hari-hari libur seperti Lebaran berlanjut, produksinya dapat melebihi 50 kg.
“Kami distribusikan penjualan kami ke pasar-pasar tradisional, biasanya saat piknik ke pantai, mereka (masyarakat/wisatawan) biasanya singgah ke sini,” ujarnya.
Dewi menyatakan bahwa harga yang ditawarkan untuk adrem produksinya bervariasi tergantung pada kemasannya. Kemasan terkecil, yaitu kemasan mika, berisi 6 adrem dan dijual seharga Rp7.000 per paket.
Mengenai omzet, jika penjualan adrem harian bisa mencapai 30 kg adonan, maka mereka dapat meraih omzet sekitar Rp 2 juta-an.