Gus Yahya tidak ingin NU jualan suara. ''Warga NU itu 56,9 persen. Kalau hanya dijual untuk satu-dua amplop itu menjatuhkan martabat,'' katanya.
Yang akan ia lakukan bukanlah menjual NU. ''Kita akan melakukan aliansi. Bukan jualan,'' kata Gus Yahya.
Aliansi yang dimaksud adalah menjalin hubungan dengan yang punya misi sama dengan NU. Dengan demikian tujuan NU bisa tercapai: untuk kejayaan NU dan kejayaan Indonesia.
Intinya: Gus Yahya ingin Indonesia maju. Caranya: apa yang sudah dicapai sekarang harus berlanjut. Dan itu berarti harus ''numpak jaran'' (naik kuda).
Bagaimana dengan Khofifah Indar Parawansa –Gubernur Jatim saat ini?
Sudah pula ada isyarat yang sangat kuat ke mana dia akan berlabuh. Itu bisa dilihat dari susunan pengurus tim kampanye nasional Prabowo-Gibran. Ada nama KH Asep Saifuddin Chalim di sana.
Kiai pondok Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto, ini adalah koin yang sama dengan Khofifah –beda sisi saja.
Ayahanda kiai Asep baru saja diangkat Presiden Jokowi sebagai Pahlawan Nasional, sehari sebelum Hari Pahlawan kemarin.
Presiden Jokowi juga hadir ketika Kiai Asep menerima gelar profesor di UINSA Surabaya dua tahun lalu. Lebih 20.000 santri belajar di Amanatul Ummah. Perguruan tingginya sudah punya program S-3.
Kiai Asep all-out menjadikan Khofifah Gubernur Jatim. Orang Jatim tahu itu. Kiai Asep-Khofifah selalu sejalan.
Maka saya sulit menebak berapa persen suara NU akan ke Ganjar-Mahfud, ke Anies-Muhaimin dan ke capres-cawapres yang justru bukan dari kalangan NU: Prabowo-Gibran.
Pun di Rembang. Saya sulit membayangkan bagaimana hubungan Gus Mus dengan Gus Yahya. "Bapak" dan "Anak" (Gus Yahya adalah keponakan yang sudah dianggap anak oleh Gus Mus).
Satu kampung.
Satu pondok.
Satu hati.
Kali ini Gus Yahya pilih naik kuda. Gus Mus menjadi satu barisan dengan tokoh-tokoh nasional yang kini anti-Jokowi: Goenawan Mohamad, Ery Riyana, Butet Kartaredjasa, dan teman-temannya.