Antikemo Baru
Dahlan Iskan mendengarkan penjelasan Prof Dr Agung Putra, pendiri Stem Cell and Cancer Research (SCCR) Semarang--
Prof Agung sudah meneliti penggunaan kemo dalam penyembuhan kanker.
''Kemo hanya membunuh anak-anak kanker. Tidak bisa membunuh sel induk kanker,'' ujarnya.
Itulah sebabnya orang yang sudah dikemo dan sudah dinyatakan bersih kadang masih muncul lagi kankernya.
Di lab SCCR, Prof Agung bisa melihat ''tentara'' yang dihasilkan obat kemo itu. Ketika mendekati anak-anak kanker ''tentara'' itu membesar. Lalu mampu memakan sel-sel anak kanker yang ukurannya lebih kecil.
''Tapi begitu mendekati sel induk kanker, tentara-tentara kemo itu mengempis. Tidak mampu memakan sel induk kanker,'' katanya.
Prof Agung lahir di Lampung. Orang asli Lampung. Istrinya seorang dokter dari Malang.
Dokter Agung lulusan Undip dan tanggal 14 Desember nanti meraih guru besar dari Universitas Sultan Agung.
Awalnya saya tidak percaya ada dokter senekat dr Agung. Hanya mau melakukan riset. Dia mencintai riset. Secara mandiri pula.
Prof Agung termasuk ahli yang anti terapi kemo. Tapi sebelum menemukan penggantinya ia tidak mau menunjukkan sikap antinya.
Yang ditemukan di Tiongkok itu adalah obat kanker tanpa disertai kemo.
''Kami di SCCR juga mengembangkan yang tidak pakai kemo. Kami mengembangkan immunotherapy menggunakan pendekatan isolasi dan culture-engineering CTL (Cytotoxic T lymphocyte). Masih kami lakukan dalam lab,'' katanya.
Di Tiongkok obat baru tersebut sudah lebih dulu disetujui untuk digunakan. Sejak enam bulan lalu: Mei 2023. Itu setelah dilakukan 12 kali tahapan uji klinis yang melibatkan 1.200 pasien di berbagai negara di dunia. Termasuk di Singapura dan Taiwan. Hasilnya pun efektif.
Di Tiongkok harga obat memang bisa murah. Di sana harga obat mengacu pada patokan harga yang dipakai di sistem asuransi kesehatan nasional. Sejenis BPJS di Indonesia.
Tidak boleh ada harga obat di atas itu. Tidak ada pasar obat yang terganggu: 95 persen rakyat Tiongkok masuk dalam sistem kesehatan nasional.
Di Amerika harga obat diputuskan semata berdasar daya beli masyarakat. Patokannya: sepanjang orang masih mampu membelinya. ''Bahkan tidak ada hubungan antara penetapan harga obat dengan biaya riset,'' tulis media di sana.