Amanah Kepemimpinan
Irham Hasymi, Lc. M.Pd--
Jika larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini tidak dilanggar, maka akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin yaitu pejabat itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat.
Karena dia akan selalu mendapat pertolongan dari Rabbul ‘alamin dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk pertolongan dari Allah Azza wa Jalla itu bermacam-macam. Misalnya : Beban yang berat menjadi terasa ringan, hal yang sulit menjadi mudah, kesempitan akan menjadi lapang, teguran, koreksi dan perbaikan dari kesalahan yang dia lakukan, sehingga dia tetap berada di jalan yang benar dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin tertinggi, wakil, sebagai menteri, sebagai gubernur dan seterusnya.
Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah sebuah amanah yang harus dipertangungjawabkan kepada manusia maupun Allah SWT. Suatu amanah dapat dijalankan dengan baik, jika yang menerima amanah mendapatkannya dengan penuh kesadaran akan tugas dan tanggung jawab.
Hal ini sebagaimana pesan Rasulullah SAW kepada Abu Dzar,
"Wahai Abu Dzar, engkau adalah pribadi yang lemah, sedangkan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kehinaan di hari akhirat, kecuali mereka yang dapat menjalankannya dengan baik.” (HR Muslim).
Abu Dzar adalah sahabat yang sangat rajin beribadah, tetapi Rasulullah SAW tidak memberikan apa pun jabatan kepemimpinan kepadanya. Sebab, seorang pemimpin bukankah harus mempunyai keberanian dalam kepemimpinannya.
Sedangkan Abu Dzar walaupun rajin beribadah, tetapi lemah dalam sifat-sifat yang diperlukan bagi seorang pemimpin. Seperti keberanian dan sebagainya. Seorang pemimpin mempunyai syarat yang lebih dari seorang pekerja, pegawai, dan orang biasa.
Penerima amanah hendaknya menyadari kemampuan dirinya untuk memimpin. Jadi untuk mendapatkan amanah itu bukan dengan nafsu, apalagi dirinya ada kelemahan yang fatal. Keberanian saja tidaklah cukup dan yang paling penting bahwa "dirinya bersih" dari kesalahan yang sifatnya memperkaya diri maupun kelompoknya.
Di samping itu ada syarat yang harus yang dipenuhi, yaitu tidak mudah terpengaruh oleh hawa nafsu, baik nafsu dunia, nafsu kekayaan, nafsu kekuasaan, dan lainnya. Sebab, jika seseorang mempunyai syarat kepemimpinan zahir, seperti keilmuan, keberanian, tetapi tidak mempunyai syarat batin, maka kepemimpinan tersebut akan dipakai untuk mencari nafsu keserakahan, baik nafsu kekayaan ataupun kekuasaan.
Oleh sebab itu, sejak dini, Rasulullah SAW mengantisipasi umatnya jangan sampai memilih pemimpin yang sejak awal sudah menunjukkan nafsu kekuasaan dalam dirinya. Sebab, pemimpin yang dapat menjalankan tugas dengan baik adalah pemimpin yang mengambil kepemimpinan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, bukan mereka yang mendapatkannya dengan nafsu dan emosi.
Sikap kasih sayang pemimpin ditunjukkan dengan upayanya untuk selalu memudahkan urusan rakyat, menggembirakan mereka dan tidak menakut-nakuti mereka. Sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah beserta para pemimpin Islam yang takut dengan penyimpangan amanah.
Adapun sikap adil pemimpin ditunjukkan dengan kesungguhannya menegakkan Amanah kepemimpinan di tengah rakyatnya berdasarkan arahan Ilahi. Sebabnya, tidak ada keadilan haqiqi kecuali bagi mereka yang benar-benar memahami kepemimpinan dengan segala aturan aturannya berdasarkan arahan Sang Pencipta yang menjadi raja dari segala raja. Tanpa bimbingan Ilahi maka, ia berpotensi menjadi penguasa yang zalim dan fasik.
Karena kekuasaan adalah amanah, Nabi SAW mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyat. Beliau bersabda yang artinya,
“Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari ia mati, sedangkan ia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya surga.” (HR Bukhari).
Bahkan Nabi SAW mendoakan para pemimpin yang tidak amanah, yang menyusahkan umat, dengan doa yang buruk untuk mereka.