Untuk sayuran, kami santri-santri menanam sendiri. Kebetulan Pondok Pesantren kami itu berbasis pertanian. Buah-buahan banyak terdapat di lahan pesantren yang luasnya mencapai 25 hektar.
Ditengah kemewahan makanan yang kami dapat di pesantren kami, saya juga kasihan melihat menu makan rekan-rekan santri di pondok yang saya jumpai waktu itu.
Sejak 10 tahun terakhir, Pondok Pesantren semakin menjadi primadona bagi orang tua untuk menitipkan pendidikan sang anak.
Saya juga berencana memasukan anak-anak ke Pondok Pesantren. Ponakan saya sudah lebih dulu mondok setamat SD setahun silam.
Bersamaan dengan itu, saya kembali terngiang dengan menu makan santri. Saya sudah lama sekali tidak melihat dapur santri.
Mungkinkah menu makan santri-santri sekarang masih ada yang hanya gulai terong dipotong setengah + ikan teri sebesar kelingking? Saya berharap tidak ada lagi.
Seharusnya negara turun campur tangan mengurusi makan para santri. Jangan semuanya dibebankan kepada Pak Kiyai, pimpinan, pengasuh pondok, dan uang bulanan yang dibayar santri.
Program makan bergizi gratis yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran harus menyentuh pondok pesantren.
Toh santri juga rakyat Indonesia, santri juga calon generasi Emas bangsa. Dan satu lagi yang jangan dilupa. Peran santri sangat besar dalam merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah.
Dalam peringatan Hari Santri Nasional tahun 2024, diangkat tema "Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan".
Tema yang diangkat ini, kalau dicermati secara khusuk, memiliki makna yang amat dalam. Penuh dengan harapan.
Santri "dibebankan" melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan. Santri juga dititipkan masa depan bangsa dan negara.
Saya amat yakin, pondok pesantren menjadi tempat (lembaga pendidikan) untuk mencetak generasi Emas Indonesia tahun 2045. Dan saya percaya, santri akan menjadi generasi Emas Indonesia yang paling berkilau.