Saya pun memulai acara dengan sambutan dalam bahasa Jawa. Rahayu. Lancar.
Lalu tiba giliran Pak Harmoko berpidato. Semua mengira akan baik-baik saja. Toh beliau termasuk orang yang bisa mendalang wayang kulit.
Ternyata lucu sekali. Beliau menyerah di menit kelima.
"Saya mengaku kalah," katanya. Pidatonya pun dilanjutkan dengan bahasa Indonesia.
Pun Ibnu Sunanto. Bahasa Jawanya sudah kecampur 30 persen bahasa Indonesia. Masih untung. Tidak kecampur bahasa fintech.
Begitu sulit mempertahankan budaya Jawa yang katanya adiluhung itu.
Tapi saya kagum dengan Ibnu Sunanto. Jagat bisnisnya adalah fintech. Uang digital. Aplikasi online. Tapi kehidupan rohaninya sangat Jawa.
Bahkan ia membeli dan membangun padepokan Jawa seluas dan sebagus ini. Ada panti asuhan yatim piatu di dalamnya. Ada masjid Jawa-nya pula. Ada air dari 17 sumber air dari gunung Arjuno dan Penanggungan.
Salah satu layanan gojek ACI di Yogya dan Jatim juga itu: antar jemput anak yatim secara gratis. Menurut Mirza Alief Syahrial, dirut Aku Cinta Indonesia, ACI di Jatim kini punya 1000 driver sepeda motor.
Mirza juga pemegang saham di ACI. Ia arek Malang. Berumur 34 tahun. Ia salah satu jagoan digital di Indonesia. Mirza bertekad agar ACI tetap milik Indonesia. Sudah begitu banyak investor asing yang akan mengakuisisi ACI. Namun, Ibnu dan Mirza masih bertahan.
ACI memang masih nomor enam. Di atasnya ada Gojek, Grab, Shopee, Maxim, dan InDrive, tapi ia bangga karena masih murni Indonesia.
Mirza juga hadir di sarasehan kemarin malam. Juga berpakaian serbaJawa. Banyak anak muda pintar di padepokan itu.
Maka untuk acara sarasehan berikutnya, tiga lapan ke depan, saya usul membicarakan topik ini: menjadi maju tanpa kemrungsung. Atau tidak kemrungsung tapi maju.
Satu lapan adalah 35 hari. Tiga lapan berarti 105 hari. Tiap 35 hari akan selalu ketemu hari dan pasaran yang sama: Sabtu Pahing. Berarti Sabtu Pahing 105 hari lagi kami akan bertemu lagi di tempat yang sama.
Sambil mengembalikan blangkon merah yang terbawa pulang.(Dahlan Iskan)