BEGITU sulit menyusun acara kuliner di Batam. Apalagi hanya satu hari. Terlalu banyak yang akan dimakan. Terlalu kecil ruang di perut yang tersedia. Terutama setelah bertekad mempertahankan diri: agar tidak kembali berpipi tembem.
Yang sudah pasti: harus ke roti canai. Yang juga pasti: durian. Yang tidak boleh tidak: gonggong. Yang wajib: resto Padang Sederhana. Semua harus dimakan. Tapi waspada. Keesokan harinya masih akan ke Medan. Di sana daftar kulinernya juga panjang. Bisa lupa komitmen. Tapi saya tidak lupa. Maka saat sarapan minimalis saja. Toh di mana-mana makanan hotel mirip belaka. Olahraga harus diperpanjang. Pagi itu kami bisa senam di teras lantai 25. Sambil memandang danau besar yang dikelilingi hutan. Dari lokasi senam yang begitu tinggi itu juga bisa melihat Batam Center. Terutama karena ada penanda baru di sana: Meisterstadt Pollux Habibie. Menonjol sekali. Bagus banget. Rasanya inilah lokasi senam tertinggi yang pernah saya lakukan. Bersama lima orang cantik-cantik. Hanya saya laki-lakinya. Laki-laki tua. Dari teras lantai 25 ini terlihat juga kawasan industri. Juga dikelilingi bukit dan hutan. Kesan saya: seperti lagi di luar kota Dusseldorf, Jerman. Hutan, danau, industri seperti ditata sempurna. Jangan-jangan yang seperti itu juga maunya Prof Habibie –yang awalnya merangkap sebagai ketua otorita yang berkuasa penuh merencanakan pembangunan Batam. Pagi itu hujan sangat lebat. Suara musik harus lebih dikeraskan. Tapi teras ini istimewa. Tidak sampai terkena tempias sama sekali. Kami berhasil tidak sarapan banyak: satu telur rebus, selembar roti toast, beberapa iris pepaya. Harus ada ruang untuk makan siang. Makan besar. Pagi itu hanya ada satu acara serius. Maka makan siangnya ditarik agak dini: untuk memberi slot pada roti canai dan yang lainnya tadi. Lokasi makan siang ini dipilih yang agak jauh: agar perjalanan pulang dari restoran bisa sekitar 1 jam. Pilihan lokasi pun jatuh ke Tanjung Piayau. Saya sudah sering makan di kelong di Batam tapi baru sekali ini ke kelong di Tanjung Piayau. Lokasinya di ujung salah satu tanjung pulau Batam. Sebenarnya banyak kelong di Batam. Kelong mana saja menyediakan menu gonggong. Ada kelong di wilayah Tanjung Riau, ada kelong di wilayah Barelang, ada kelong di wilayah Tanjung Piayau, dan ada pula kelong di wilayah Tiban. Di setiap lokasi itu kelongnya tidak hanya satu. Benar-benar banyak pilihan. Atau justru bingung. Kelong –Anda sudah tahu– adalah bahasa Melayu untuk restoran yang terapung di atas laut. Di dekat pantai. Saya berterima kasih pada Sulfika Saputra yang membawa saya ke Tanjung Piayau. Kelongnya relatif baru. Di sisi kiri kelong terdapat kolam-kolam kecil. Kolam apung. Ikan yang mau dimakan dipelihara di situ. Ikan hidup. Ikan segar. Sambil menunggu makanan bisa lihat-lihat kolam. Di kelong ini juga tidak silau. Di seberang kelong ada satu pulau panjang. Pandangan tidak sampai ke laut lepas yang menyilaukan. Pulaunya kosong. Tanpa penduduk. Penuh dengan tanaman hijau. Sejuk dilihat sambil makan. Saya salah order. Salah lihat gambar makanan. Salah perkiraan ukuran menu. Saya pesan gonggong tiga porsi. Campur udang, kepiting rajungan, cumi-cumi, dan kerang. Pas. Untuk sepuluh orang satu meja. Ternyata satu porsi saja cukup untuk 10 orang. Makanan itu tidak ditaruh di piring atau panci. Gonggong itu ditaruh di satu baki besar: 25 x 50 cm. Dalamnya 10 cm. Penuh. Kuahnya juga banyak. Uapnya masih mengepul. Makanan panas. Saya membagi nasi dari satu tanak besar ke piring-piring 10 orang. Saya juga keduk bak itu untuk mencari gonggongnya. Saya bagikan ke mereka. Dengan cara sibuk seperti itu saya sudah bisa kenyang menghirup aromanya. Saya pun merasa sukses: tidak tergoda makan gonggong satu pun. Saya sudah kenyang gonggong di masa lalu. Sudah tahu rasanya. Sudah tahu pula risikonya. Siang itu saya sukses pula tidak makan kepiting. Pun tidak makan udang dan kerang. Saya pilih makan ikan goreng Hongkong. Dan sayur kangkung. Saya ambil agak banyak ikan itu. Lalu saya kembalikan sebagiannya: ikan ini kan digoreng, berminyak. Kangkungnya pun saya kembalikan separo: masaknya terlalu berminyak. Diam-diam saya berhasil melakukan ajaran kuno: berhentilah makan sebelum kenyang. Saya sudah tidak sukses sehari sebelumnya dan tidak akan sukses pula sehari sesudahnya. Sukses siang itu lebih karena terbayang roti canai. Di Martabak Har. Sebelum krismon dulu saya sempat punya hotel di dekat situ. Setelah krismon setidaknya saya masih ke roti canai. Kenangan saya pada Har lebih membekas daripada memiliki hotel. Saya pernah diajak ke pedalaman Thailand naik pesawat pribadi. Pulangnya tiba-tiba mampir mendarat di Batam. Kami ke roti canai itu –membawa pula bungkusannya. Selesai makan balik ke bandara, terbang ke Jakarta. Ternyata tidak hanya saya seorang yang terobsesi roti canai Har. Di canai saya merasa setengah sukses: yakni pakai kuah gulainya sedikit. Juga sukses tanpa daging. Caranya: roti chennay itu saya robek sedikit, saya celupkan tipis-tipis ke kuah gulai, masuk mulut. Sukses. Kuahnya sedikit. Tanpa daging. Tapi tidak sukses karena jumlah lembaran canainya. Yang total gagal adalah saat ke kedai durian. Harus membanding-bandingkan mana yang lebih enak: musanking atau tembaga. Mula-mula makan musangking. Lalu makan tembaga. Ketika hendak membandingkan, agak lupa seperti apa rasa musangking tadi. Maka kembali merasakan musangking. Saking asyiknya lupa pula seperti apa rasa tembaga tadi. Jadinya harus makan tembaga lagi. Berulang dan berulang. Maka ketika makan malam di Harbour Bay, saya angkat tangan. Saya pilih mendengarkan musiknya. Minum pun tidak. Saya harus berhenti makan karena memang sudah terlalu kenyang. (Dahlan Iskan)
Kategori :