Saya kurang cerdas: begitu melihat kampung kelahirannya, Mexian, harusnya langsung tahu Tjong Afie orang suku Hakka. Saya dua kali ke Mexian. Itulah kabupaten di Provinsi Guangdong yang hampir 100 persen dihuni suku Hakka. Letaknya di sudut timur laut Guangdong. Berbatasan dengan Fujian.
Lee Kuan Yew orang Hakka. Taksin orang Hakka. Aquino Filipina orang Hakka. Murdaya Poo orang Hakka.
Di rumah Tjong Afie saya berhasil bertemu sang cucu: Mimi Tjong. Usianya 74 tahun. Janda. Masih terlihat sehat. Langsing. Wajahnya segar. ''Saya baru jatuh terguling-guling di tangga,'' katanya. ''Mungkin 12 anak tangga,'' tambahnyi.
Dia tinggal sendirian di rumah itu. Tepatnya di bagian samping rumah besar. Juga dua lantai. Hari itu dia ingin menyambut kedatangan istri Jenderal Dudung Abdurrahman.
Dia ingin buru-buru turun dari lantai atas. Terguling-guling. Sampai tergolek di tegel lantai bawah. Tentara yang mengawal Ny Dudung menolong. Tidak ada luka. Hanya memar di telinga. Dan di dahi. Diobati. Selebihnya dia baik-baik saja. Tetap bisa melayani tamu pentingnya.
Rumah besar Tjong Afie sendiri kini jadi museum. Sejak 2009. Dibuka untuk umum. Karcisnya Rp 30.000. Jadi objek turis penting di Medan. Kemarin itu saya bertemu rombongan besar turis dari Bengkulu. Juga dari Padang. Dari Jakarta.
Rumah besar ini sudah berumur 123 tahun –selesai dibangun tahun 1900. Pernah direnovasi atas bantuan pemerintah Amerika. Saat itu Amerika memang punya konsulat di Medan. Betapa penting Medan.
Kini Mimi gelisah. Sudah waktunya direnovasi lagi. Dinding-dindingnya berjamur dan terancam mengelupas. Terkena tempias hujan di sana-sini. Bocor pula di beberapa titik. Jelas pemasukan dari karcis tidak akan cukup untuk biaya perbaikan.
Saya lihat BUMN wajib menyisihkan dana CSR untuk menyelamatkan Rumah Tjong Afie. Dulunya Tjong Afie punya 17 lokasi perkebunan. Semua itu kini menjadi kebun PTPN 3 milik BUMN.