INDONESIA ikut terangkat tinggi: berkat digandeng Abu Dhabi dalam hal solar cell. Abu Dhabi memang mampu membayar perusahaan promosi tingkat dunia. Anda melihat promosinya yang gila-gilaan. Termasuk proyeknya yang di Indonesia. Di Jawa Barat. Di waduk Cirata: antara Cianjur dan Purwakarta. Di situ memang dibangun pembangkit listrik tenaga matahari. Besar sekali. Terbesar dia Indonesia: 200 MW. Juga PLTS terapung pertama untuk skala tersebut. Terbesar ketiga di dunia. Terbesar nomor satu di Abu Dhabi sendiri: 2000 MW. Itu 10 kali lipat dari yang di Cirata. Pemegang saham terbesar proyek yang di Cirata adalah Abu Dhabi juga. Bekerja sama dengan Prancis dan Tiongkok. Abu Dhabi punya kepentingan besar untuk mempromosikan solar cell-nya. UAE adalah tuan rumah COP28. Minggu depan dimulai: 30 November. Sampai 12 Desember. Dihadiri 100 pimpinan negara. Termasuk Raja Charles III dari Inggris dan pemimpin tertinggi gereja Katolik Fransiscus. Abu Dhabi dikritik: bagaimana bisa salah satu negara penghasil minyak mentah terbesar dunia jadi tuan rumah KTT Green Energy. Tapi itulah Abu Dhabi. Negara Uni Emirate Arab memang jago lobi. Amerika Serikat sendiri mendukung UEA jadi tuan rumah COP28. Anda sudah tahu: COP yang ke-27 dilaksanakan tahun lalu di Mesir. Di daerah wisatanya di dekat terusan Suez. Tahun ini COP28 di UAE. Tahun depan belum diputuskan. Itulah KTT Green Energy. Tiap tahun. Sebagai kontrol atas keseriusan negara-negara di dunia dalam menyikapi pemanasan global. COP yang paling terkenal adalah COP tahun 2014. Di Paris. Saat itulah terjadi ''Kesepakatan Paris'' yang terkenal itu: suhu dunia harus turun 1,5 sampai 2 derajat di tahun 2050. Anda sudah merasakan betapa panas suhu di atas bumi. Hari-hari ini. Itu akan terus kian panas tanpa pengendalian dari semua negara. Tiap tahun COP memonitornya: sudah sampai di mana pelaksanaan komitmen negara-negara yang telah meratifikasi ''Kesepakatan Paris''. Termasuk Indonesia. Hasil monitoring terbaru: tidak ada negara yang mencapai target. Indonesia yang di tahun 2025 green energy-nya ditetapkan mencapai 23 persen rasanya masih jauh. Sekarang baru tercapai 14 persen. Indonesia memang punya persoalan internal yang khas. PLN kelihatannya dalam keadaan ''terpaksa'' dalam menerima pasokan green listrik. Mungkin orang PLN setuju dengan kalimat di atas tapi tidak berani mengatakannya. Misalkan yang di Cirata itu. PLN harus membeli listrik dari PLTS Terapung Cirata. Sebanyak 200MW. Hanya di siang hari. Dengan harga lebih mahal dari listrik yang dihasilkan oleh PLTU milik PLN sendiri. Juga lebih mahal dibanding harga jual PLN kepada pelanggan rumah tangga. Padahal di siang hari PLN sudah kelebihan listrik. Di Jawa –tempat Cirata berada. Lalu PLN diharuskan membeli listrik yang lebih mahal di siang hari. Maka ketika berita peresmian Cirata menyebar ke seluruh dunia, PLN sebenarnya pusing tujuh keliling dunia: harus membeli listrik di saat lagi kelebihan listrik. Dengan harga lebih mahal pula. COP28 Abu Dhabi tidak akan tahu problem internal seperti itu. Kalau saja saya bisa hadir saya akan bawakan masalah khas negara berkembang: penggunaan listrik yang tidak seimbang antara siang dan malam. Tepatnya antara pukul 17.00 sampai 23.00 dan setelahnya. Antara jam 17.00 sampai 23.00 penggunaan listrik sangat tinggi. Antara 23.00 sampai 16.30 pemakaian listrik sangat rendah. Itu khas negara berkembang. Tidak terjadi di negara maju. Di negara maju siang hari pun konsumsi listriknya tinggi. Dipakai industri. COP28 memang seperti soto kurang bawang goreng: Presiden Amerika Serikat tidak hadir. Sibuk dengan ancaman pemerintahan tidak dapat biaya --tidak disetujui DPR. Presiden Tiongkok juga tidak hadir. Tapi dua tokoh itu sepakat COP28 harus sukses. Keduanya sudah bertemu di San Francisco pekan lalu. Sudah pula sepakat soal pentingnya COP28. Indonesia pun sepakat UEA jadi tuan rumah COP28. Dulu UEA juga mendukung ketika Indonesia jadi tuan rumah COP26. Di COP berapakah suhu bumi mulai turun? (Dahlan Iskan)
Kategori :