Hatiku semakin berat ketika tahu bahwa aku tidak bisa bertemu bapak, karena beliau sedang bekerja sebagai sopir truk di luar kota. Tapi saya tetap berpamitan lewat video call. Waktu itu, aku hanya bisa menangis dalam diam, melihat wajah bapak yang penuh peluh, tapi tetap tersenyum bangga padaku.
Bapak bilang, hati-hati ya, Nduk. Sing sabar, sing semangat. Doa bapak selalu untuk kamu. Dan aku tahu, itu cukup. Itu sudah lebih dari cukup.
Hari keberangkatan pun tiba. Dengan koper dan harapan, aku melangkah ke bandara. Berat rasanya meninggalkan tanah tempat aku dibesarkan, tapi aku membawa pesan dan doa dari kampungku. Dari Muncar. Dari keluarga yang selalu jadi rumah, tak peduli seberapa jauh aku pergi.
Sekarang aku ada di Tiongkok. Negeri asing yang dulunya hanya bisa kulihat lewat layar dan mimpi. Aku masih belajar banyak hal. Bahasa, budaya, sistem baru. Semuanya masih proses. Tapi aku tidak takut. Karena aku sudah pernah berdiri di titik paling bawah dan tetap bisa bertahan. Jadi aku tahu, aku bisa.
Sekarang aku ada di Tiongkok. Belajar. Berjuang. Menata masa depan. Tak semua hari mudah, tapi aku percaya Tuhan sedang menunjukkan jalanku. Jalur penuh luka, tapi penuh makna.(*)