
4. Exposure atau pengungkapan
Faktor-faktor diatas lalu saling bersilangsekarut karena perilaku serakah tidak akan menyebabkan korupsi ketika ketiadaan kesempatan yang dimiliki, demikian pula sebaliknya dengan faktor kebutuhan seseorang dimana seseorang cukup puas dengan apa yang dimiliki tanpa harus mengikuti hawa nafsu dalam memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya tentu tidak akan melakukan hal yang bersifat koruptif. Dalam praktek perilaku koruptif tidak hanya terjadi pada masyarakat umum namun juga telah menyebar dan seakan menjadi budaya pada para pemimpin atau pejabat publik.
Dalam konteks korupsi dugaan suap dan gratifikasi kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) industri kelapa sawit yang melibatkan 7 orang tersangka setidaknya disebabkan adanya faktor kesempatan dan kebutuhan yang diperparah dengan perangai serakah dan tidak pernah puas. Tentu argumen ini termanifestasi pada besarnya nilai nominal uang korupsi sebesar 60 Milyar yang diakui oleh tersangka serta adanya barang bukti berupa kendaraan mewah baik berupa mobil jenis Ferrari hingga Nissan GTR dan motor gede (moge) yang disita oleh Penyidik pada Kejaksaan Agung. Sebagai gambaran sederhana jika dikomparasi nilai uang 60 Milyar terhadap peruntukan anggaran bagi masyarakat miskin atau tidak mampu yang senilai 5 juta/perkara maka setidaknya ada 12.000 perkara masyarakat miskin yang mendapatkan manfaat atas permasalahan hukum yang dihadapi, tentu sebuah angka yang cukup lumayan untuk menunjukan Negara hadir dalam menjawab problem-problem hukum kaum miskin sesuai perintah Undang-Undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Selain itu faktor lingkungan dan gaya hidup yang hedonis menjadi faktor pemicu sehingga simbol-simbol kemewahan dalam bentuk kendaraan dan atribut barang mewah lainnya seakan sengaja dipertontonkan untuk menunjukkan kasta sebagai orang yang sukses (high class) dan terpandang dilingkungan atau komunitasnya, meskipun cara mendapatkan simbol kemewahan tersebut dengan menghalalkan segala cara termasuk menerapkan prilaku koruptif.
UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN ONSLAG
Lantas apa upaya yang harus ditempuh terhadap adanya putusan onslag atau lepas dari segala tuntutan hukum Majleis Hakim perkara 3 Korporasi tersebut ? Dalam praktek penanganan perkara oleh Pengadilan yang bermuara pada adanya suatu putusan atas dugaan tindak pidana oleh seseorang setidaknya dikenal 3 bentuk putusan yakni :
1. Putusan Bebas (diatur Pasal 191 ayat 1 KUHAP)
2. Putusan Lepas (diatur Pasal 191 ayat 2 KUHAP)
3. Putusan Pemidanaan (diatur Pasal 193 ayat 1 KUHAP)
Dari 3 bentuk putusan diatas dalam perkara ini Majelis Hakim pada 19 Maret 2025 bersepakat bulat memutuskan ke 3 terdakwa korporasi dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum atau onslag van recht vervolging meskipun terhadap unsur yang didakwakan dianggap terbukti memenuhi unsur namun hal itu bukan merupakan suatu tindak pidana, hal mana diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat 2 KUHAP padahal Penuntut Umum pada tuntutan menyatakan terbukti perbuatan para korporasi dan masing-masing dituntut membayar sejumlah uang denda dan uang pengganti dan jika tidak dibayarkan maka ada sita dan pidana penjara terhadap Direktur serta pengendali korporasi yang bervariasi. Oleh karena putusan diputuskan pada pengadilan tingkat pertama tentu putusan 3 korporasi belum dapat dikatakan inckraht atau berkekuatan hukum tetap namun masih terdapat upaya hukum yakni kasasi mengacu ketentuan Pasal 244 KUHAP Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No.114/PUU-X/2012 dan upaya kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung sebagaimana ketentuan Pasal 259 KUHAP dan haqqul yakin upaya ini diambil oleh Penuntut Umum.
SOLUSI
Fenomena dan dinamika penegakkan hukum kususnya korupsi yang tengah terjadi tentu tak perlu disesali pun demikian tak berguna jika hanya marah tanpa melakukan upaya konkrit ibarat “bergumam di balik bukit”, setidaknya berkontribusi mencegah ini kembali terulang menjadi solusi dan alternatif bijak yang harus ditempuh. Dengan kata lain bagaimana memaksimalkan mencegah terjadinya berbagai faktor penyebab korupsi dari aspek psikologis ataupun hukum baik dari internal ataupun eksternal, lebih penting lagi bagaimana mengendalikan perangai serakah dan nafsu tidak pernah puas dalam memenuhi kebutuhan ditengah kehidupan yang sangat materialistis dan berhamba pada duniawi , dalam perspektif ini menjadi relevan pesan moral Mahatma Gandi yang mengatakan “Nature can provide for the needs of people, (she) can’t provide for the greed of people, Alam mampu mencukupi kebutuhan manusia, namun tidak mampu memenuhi keserakahan manusia”
PENUTUP
Sebagai penutup terlepas dari adanya fenomena degradasi integritas moral yang saat ini tengah melanda insan institusi peradilan pada kasus dugaan suap dan gratifikasi 3 terdakwa korporasi Permata Hijau Group, Wilmar Group dan Musim Mas Group dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit, tentu spirit dan nyala lentera keadilan tetap harus hidup dan terang. Setidaknya nama Bismar Siregar, Artidjo Alkostar dan Adi Andojo Soetjipto sebagai Hakim Agung selalu dirindukan, harum dan dikenang publik menjadi suri tauladan dan panutan hingga saat ini khususnya dalam pemberantasan korupsi oleh insan peradilan, segala sesuatu tak ada yang sempurna, tak ada gading yang tak retak. Biarlah lentera itu menemukan sosok hakim yang jujur meskipun ditengah pekat dan gelapnya lorong penegakkan hukum yang berkeadilan.