SAYA dua kali mendengarkan pidato politik Megawati Soekarnoputri di ultah ke-52 PDI-Perjuangan. Separonya kemarin malam. Sampai ketiduran. Saya teruskan separonya lagi keesokan harinya: total tiga jam lebih.
Kuat sekali beliau --biar pun sambil duduk. Gaya ini sudah menjadi ciri khasnya. Tidak akan melelahkan untuk orang berusia 78 tahun. Juga bisa menyimpulkan kekuasaan mutlak di partai itu.
Kursi itu.
Meja itu.
Gaya mutlak.
Satu-satunya orang yang berbicara di keseluruhan acara.
Kemutlakan itu kelihatannya masih akan berlanjut lima tahun ke depan.
Ultah itu sekaligus meneguhkan tidak ada calon lain yang akan maju. Kalau pun ada akan ditolak tegas.
"Emoooooh", teriak mereka yang duduk menghadiri acara di Gedung Sekolah Partai di Kebagusan Jakarta Selatan itu.
Saya tidak tahu apakah seniman Butet Kartarejasa yang hadir juga teriak ”emoooooh”.
Emoh adalah bahasa Jawa untuk "tidak mau". "Ora gelem" juga berarti "tidak mau" tapi kosakata "emoh" lebih bernada sekaligus mencemoohkan yang ditolak itu. Apalagi kalau "o"-nya sampai lima "o”.
Pakar komunikasi politik seperti Prof Dr Effendi Gazali menggambarkannya secara jenaka: ketika Megawati pernah mengatakan tidak mau jadi ketua umum lagi, ternyata ada yang mau. Tapi yang mau itu diam ketika ditanya apakah mau. Maka Megawati bertanya kepada yang hadir apakah mereka mau memilih orang yang mau itu.
"Emoooooh," jawab mereka.
Mega masih belum puas karena masih ada sebagian yang hadir yang belum bilang "emoooooh". "Berarti yang di sana itu mau ya?" tanya Mega.
"Emoooooh...," jawab mereka.