SENJA sudah lewat ketika saya tiba di Hartford. Udara sudah turun lagi jadi empat derajat. Saya langsung ke rumah Daeng. Akan ada diskusi dengan mahasiswa asal Indonesia di rumah itu.
Istri Daeng ternyata sudah masak. Ikan bakar dan sambal terasi. Juga ada sambal pencit. Masih ada lagi: soto ayam. Bisa dimakan dengan nasi atau mie dan bihun.
Saya pilih soto dulu. Sedikit. Berkuah. Panas. Di udara dingin. Ternyata sedap. Saya tambah lagi. Sedikit. Sambil melirik ikan bakar. Itu untuk tambah yang kali ketiga.
Rumah kayu ini dua lantai. Tambah satu basement. Lantai pertamanya sejajar dengan jalan: untuk ruang tamu berseparo dengan dua meja belajar. Meja besar untuk Daeng. Sekalian meja kerja. Ada laptop terbuka di atasnya. Meja kecil untuk belajar anaknya: putri. Masih kecil. Mungkin kelas 1 SD.
Lalu ada ruang makan di sebelah ruang tamu. Dapurnya di belakang tempat makan itu.
Tidak ada sekat antara ruang tamu, ruang belajar dan ruang makan. Sofa diminggirkan. Bisa menampung 15 orang. Lesehan. Lantai kayu terasa hangat. Apalagi dilapisi karpet.
"Dari PTIQ," seorang mahasiswa membuka pintu, mengenalkan diri dan menyalami saya.
"Dari PTIQ," kata mahasiswa berikutnya.
"Dari PTIQ," giliran mahasiswi berjilbab mengenalkan diri.
"Dari PTIQ," kata jilbab lainnya.
Dan lainnya lagi.
"Dari teknik mesin ITB," giliran yang lebih senior mengenalkan diri.
"Dini," kata wanita langsing dengan rambut terurai.
"Dini ini profesor. Dosen di Yale University," ujar Daeng. "Dia datang dari New Haven. Setir mobil sendiri. Satu jam," kata Daeng lagi.
Setengah jam kemudian datang lagi dosen juga. Laki-laki. Juga mengajar di Yale. Dua dosen universitas papan atas Amerika ikut hadir. Seharusnya mereka saya catat satu per satu agar bisa disebut semua.